Beranda | Artikel
Al-Udh-hiyah (Kurban)
Jumat, 3 Juli 2020

AL-UDH-HIYAH (KURBAN)

Al-Udh-hiyah (Kurban)
Kurban disyari’atkan pada hari raya Adh-ha dan hari-hari Tasyriq. Kurban adalah ibadah agung yang menampakkan sifat penghambaan yang ikhlas karena Allah, karena seorang muslim mendekatkan diri kepada Allah dengan menumpahkan darah binatang ternak secara syari’at.

Pembahasan Pertama
Definisi dan Sebab Penamaannya
Al-Udh-hiyah Secara Bahasa
Al-Udh-hiyah, didhamahkan huruf hamzahnya dan dikasrahkan serta tidak ditasydid huruf ya’-nya dan ditasydid. Bentuk jamaknya adalah adhaa-hi (أَضَاحِيْ ) dan adhaahiyy ( أَضَاحِيّ). Juga bisa dikatakan dhahiyah ( ضَحِيَة) dengan difat-hahkan huruf Dhadnya dan dikasrahkan, bentuk jama’nya adalah dhahaaya (ضَحَايَا). Juga boleh dikatakan adh-haah ( أَضْحَاة) dengan difat-hahkan huruf hamzahnya dan dikasrahkan dan bentuk jamaknya adalah adh-haa ( أَضْحًى) dengan ditanwinkan seperti arthaa ( أَرْطَى) jamak dari arthaah ( أَرْطَاة).[1]

Al-Udh-hiyah secara istilah
Udh-hiyah adalah binatang ternak yang disembelih di hari raya kurban sampai akhir hari Tasyriq untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Sebab Penamaannya
Ada yang mengatakan, kata ini diambil dari kata (الضَحْوَة ); dinamakan demikian karena dilakukan diawal waktu pelaksanaannya, yaitu waktu Dhuha dan dengan sebab ini hari tersebut dina-makan hari raya al-Adh-ha.[2]

Pembahasan Kedua
Asal Pensyari’atannya
Kurban disyari’atkan berdasarkan dalil al-Qur-an, as-Sunnah dan ijma’.

Dari al-Qur-an adalah firman Allah Ta’ala:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu, dan berkurbanlah. [Al-Kautsar/108: 2]

Ibnu Katsir rahimahullah dan selainnya berkata, “Yang benar bahwa yang dimaksud dengan an-nahr adalah menyembelih kurban, yaitu menyembelih unta dan sejenisnya.”[3]

Sedangkan dari Sunnah adalah perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Anas Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كَانَ يُضَحِّيْ بِكَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ وَكَانَ يُسَمِّيْ وَيُكَبِّرُ

Beliau menyembelih dua ekor kambing bertanduk dan gemuk dan beliau membaca basmalah dan bertakbir.”[4]

Demikian juga hadits dari al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu beliau berkata:

خَطَبَنَا رَسُولُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمِ النَّحْرِ، فَقَالَ: لاَ يُضَحِّيَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يُصَلِّيَ، فَـقَالَ رَجُلٌ: عِنْدِي عَنَاقُ لَبَنٍ هِيَ خَيْرٌ مِنْ شَاتَيْ لَحْمٍ، قَالَ: فَضَحِّ بِهَا وَلاَ تَجْزِي جَذَعَةٌ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami di hari raya kurban, lalu beliau berkata, ‘Janganlah seorang pun (dari kalian) menyembelih sampai dia selesai shalat.’ Seseorang berkata, ‘Aku memiliki inaq laban, ia lebih baik dari dua ekor kambing pedaging.’ Beliau berkata, ‘Silahkan disembelih dan tidak sah jadz’ah dari seorang setelahmu.”[5]

Dan dari ijma’ adalah apa yang telah menjadi ketetapan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin dari zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang tentang pensyari’atan kurban, dan tidak ada satu nukilan dari seorang pun yang menyelisihi hal itu. Dan sandaran ijma’ tersebut adalah al-Qur-an dan as-Sunnah.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam al-Mughni, “Kaum muslimin telah sepakat tentang pensyari’atan kurban.”[6] Sedangkan Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Dan tidak ada perselisihan pendapat bahwa kurban itu termasuk syi’ar-syi’ar agama.”[7]

Pembahasan Ketiga
Hikmah Pensyari’atannya
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyari’atkan kurban untuk mewujudkan hikmah-hikmah berikut:

  1. Mencontoh bapak kita Nabi Ibrahim Alaihissallam yang diperintahkan agar menyembelih buah hatinya (anaknya), lalu ia meyakini kebenaran mimpinya dan melaksanakannya serta membaringkan anaknya di atas pelipisnya, maka Allah memanggilnya dan menggantikannya dengan sembelihan yang besar. Mahabenar Allah Yang Mahaagung, ketika berfirman:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ ﴿١٠٢﴾ فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ ﴿١٠٣﴾ وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ ﴿١٠٤﴾ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ ﴿١٠٥﴾ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ﴿١٠٦﴾وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,’ sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” [Ash-Shaaf-faat/37: 102-107]

Dalam penyembelihan kurban terdapat upaya menghidupkan Sunnah ini dan menyembelih sesuatu dari pemberian Allah kepada manusia sebagai ungkapan rasa syukur kepada Pemilik dan Pemberi kenikmatan. Syukur yang tertinggi adalah kemurnian ketaatan dengan mengerjakan seluruh perintah-Nya.

  1. Mencukupkan orang lain di hari ‘Id, karena ketika seorang muslim menyembelih kurbannya, maka ia telah mencukupi diri dan keluarganya, dan ketika ia menghadiahkan sebagiannya untuk teman, tetangga dan kerabatnya, maka dia telah mencukupi mereka, serta ketika ia bershadaqah dengan sebagiannya kepada para fakir miskin dan orang yang membutuhkannya, maka ia telah mencukupi mereka dari meminta-minta pada hari yang menjadi hari bahagia dan senang tersebut.

[Disalin dari kitab Ahkaamul ‘Iidain wa ‘Asyri Dzil Hijjah, Penulis Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar. Judul dalam Bahasa Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penerjemah Kholid Syamhudi, Lc. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_____
Footnote
[1] Lisaanul ‘Arab, maddah Dhahaa (XIV/477) dan al-Mu’jamul Wasiith maddah Dhahaah (I/537).
[2]  Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (XIII/109) dan Fat-hul Baari (X/3) dan Nihaayatul Muhtaaj (III/133).
[3] Tafsiir Ibni Katsir (IV/558), Zaadul Masiir, karya Ibnul Jauzi (IX/249) dan Tafsiir al-Qurthubi (XIX/218).
[4] HR. Al-Bukhari dan Muslim lihat Fat-hul Baari (X/9) dan Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (XIII/120).
[5] HR. Al-Bukhari dan Muslim lihat Fat-hul Baari (X/6) dan Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (XIII/113).
[6] Al-Mughni (VIII/617).
[7] Fat-hul Baari (X/3).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/18760-al-udh-hiyah-kurban.html